BREAKING NEWS!!

PERNYATAAN SIKAP
STOP STIGMATISASI TERHADAP KELOMPOK LGBTI SEKARANG JUGA!!!

Kelompok LGBTI Bukanlah Kelompok Pembunuh

Kasus mutilasi seorang laki-laki yang menelan korban bernama Heri Santoso (40) yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu telah menjadi isu nasional. Pelaku mutilasi yang bernama Verry Idam Henyansyah alias Ryan (30) yang juga seorang gay, telah menyita perhatian masyarakat Indonesia dalam waktu dua minggu ini.

Yang menarik adalah kasus ini bukanlah kasus mutilasi pertama yang terjadi di Indonesia. Sebut saja beberapa kasus mutilasi yang pernah terjadi di Indonesia seperti kasus:

  • Mutilasi di Purwokerto (2004)
  • Mutilasi di Poso (2005)
  • Mutilasi di Bogor (2007)

serta beberapa kasus mutilasi lainnya, namun pemberitaan dan animo masyarakat dalam ketiga kasus mutilasi tersebut tidak sebesar kasus mutilasi yang menelan nyawa Heri Santoso ini. Apakah hal itu disebabkan oleh pelaku mutilasi yang disinyalir seorang gay?.

Pro dan kontra pun bermunculan terkait dengan kasus ini. Beberapa pernyataan dari psikolog, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya saling bertautan di banyak media massa nasional, diantaranya:

Salah satu pendapat miring dilontarkan oleh Erlangga Masdiana, Kriminolog Universitas Indonesia sebagaimana dilansir Majalah Tempo (21-27 Juli 2008), halaman 117:
"..para homoseks ini membunuh dengan cara sadis, tak perlu heran bila menilik dari dunia mereka. Kelompok dengan perilaku seksual berbeda memang terbiasa dekat dengan dunia kekerasan. Kelompok ini biasa mengancam atau melakukan pemaksaan, jika orang yang diajaknya berhubungan intim menolak. Orang dengan kebiasaan seperti itu tentu bisa melakukan kejahatan yang lebih besar."

Ada pula pernyataan dari seorang psikolog ternama, Dadang Hawari sebagaimana dilansir Surat Kabar Berita Kota (22 Juli 2008):
“..pecinta sesama jenis (homoseksual) memiliki rasa cemburu yang tinggi dan mereka bisa bertindak brutal ketika keinginannya tidak terpenuhi. Kaum gay atau homoseksual memiliki perilaku seksual yang menyimpang dan agresivitas mereka sangat tidak normal.”

Kemudian mari kita simak beberapa pernyataan objektif dari beberapa pakar tentang hubungan antara kejahatan dengan orientasi seksual:

seperti yang dinyatakan oleh seorang pakar psikologi forensik, Reza Indragiri A. sebagaimana dilansir surat kabar Warta Kota (22 Juli 2008):
“...tidak ada pengkategorian pembunuh berantai berdasarkan orientasi seks pelaku. Bahkan, kasus pembunuhan pada pasangan heterogen (pria-wanita) lebih banyak daripada kasus pembunuhan pada pasangan homogen.”

Psikolog Tika Bisono ketika diwawancarai oleh tim divisi kampanye Arus Pelangi pada 23 Juli 2008 terkait dengan pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa kelompok homoseksual itu merupakan kelompok yang brutal, mengatakan:
“…hal itu hanya bersangkutan dengan kepribadian seseorang, bukan dengan komunitas. Latar belakang personal itulah yang menentukan, bukan orientasi seksual.”

Kemudian dokter profesional Dr.Maya Trisiswati juga menyatakan:
“…orientasi seksual tidak mempengaruhi seseorang untuk berbuat kriminal.”

Seorang dosen psikologi hukum Ika Yunita Kartikasari menyatakan:
“kejahatan bisa dilakukan oleh semua kalangan, karena pada dasarnya semua individu mempunyai potensi-potensi emosi negatif yang bisa mengarah pada tindakan kriminal, semua tergantung dari pemicu bukan karena pelaku adalah dari komunitas tertentu.”

Dari beberapa pernyataan yang muncul dari beberapa pakar di atas membuat perhatian dan kepercayaan masyarakat terbagi dua:

Beberapa kelompok masyarakat percaya pada pendapat yang menyatakan bahwa kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseksual (LGBTI) lebih posesif, lebih emosional, dan lebih jahat dari kelompok heteroseksual.

Beberapa masyarakat lainnya percaya pada pendapat yang menyatakan bahwa tingkat emosional dan kejahatan seseorang tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang

Tentu saja pendapat-pendapat miring dari beberapa pakar di atas telah menambah daftar panjang stigma terhadap kelompok LGBTI di Indonesia. Padahal beberapa kajian ilmiah tentang homoseksualitas di tingkat internasional telah menunjukan hasil yang positif terhadap keberadaan kelompok LGBTI sejak beberapa puluh tahun lalu:

Sebut saja rekomendasi Asosiasi Psikiater Amerika (1972) yang menyatakan bahwa: homoseksualitas harus dikeluarkan dari kategori gangguan/kerusakan mental.

Kemudian resolusi World Health Organization - WHO (1980) yang menyatakan bahwa: kelompok homoseksual bukanlah kelompok penyandang cacat mental.

Rekomendasi itu akhirnya juga sampai ke ahli-ahli jiwa Indonesia; Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) sudah tidak lagi menyebutkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa.

Dari kedua hasil kajian ilmiah itu kita seharusnya bertanya kepada para pakar yang menyatakan bahwa kelompok LGBTI lebih posesif, lebih emosional, dan lebih jahat daripada kelompok heteroseksual, apakah para pakar itu telah membuktikan pendapatnya secara ilmiah dan pendapat itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah juga kepada publik?.

Stigma terhadap kelompok LGBTI di Indonesia juga diperparah dengan munculnya beberapa pernyataan dan tindakan dari aparat pemerintahan dan tokoh agama sebagai berikut:

  • Seorang gay bernama Darso menuturkan:

“Teman saya ditangkap di kawasan Senen saat razia. Motifnya ngga jelas. Saya juga takut diusir dari kosan. Sejak kasus Ryan para gay jadi takut.” (Nonstop, 25 Juli 2008).

  • Kepolisian sektor Senen, Jakarta Pusat mulai melakukan razia di berbagai tempat kos yang dihuni para kaum homo. Razia dipimpin langsung oleh Wakapolsek Senen AKP Kasmono. (Nonstop, 25 Juli 2008).
  • Kapolda Metro Jaya Irjen Adang Firman menyatakan:

“Polda tidak menutup kemungkinan akan melakukan razia kaum homoseksual.” (Nonstop, 25 Juli 2008).

  • Komandan Brigade Hizbullah Tramtib, Fery Alfiansyah Noor menyatakan:

“Homo itu seperti penyakit menular, makanya perlu ketegasan dari Pemda setempat untuk menertibkan tongkrongan mereka. Bila dibiarkan, maka prilaku homo itu akan menular ke masyarakat luas.” (Nonstop, 25 Juli 2008).

  • Ketua Satkar Ulama DKI Jakarta, Asyraf Ali menyatakan:

“Jadi 100 % gay dan lesbi masuk penjara, karena hubungan sesama jenis diharamkan dalam Al Quran.” (Nonstop, 25 Juli 2008).

  • Ustadzah Nurjanah Hulwani juga memastikan kaum homo masuk neraka. (Nonstop, 25 Juli 2008).

Dari pernyataan-pernyataan miring yang dinyatakan oleh para pakar, tokoh agama, dan aparat pemerintahan serta tindakan-tindakan sweeping atau razia yang dilakukan aparat keamanan, dapat disimpulkan bahwa:

  • Karena hukum positif Indonesia menganut prinsip non-discrimination dan equality before the law, serta secara material tidak ada aturan tentang orientasi seksual, maka razia dan penangkapan terhadap seseorang berdasarkan orientasi seksualnya tidak sah secara hukum.
  • Aksi razia dan penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas yang dilakukan oleh aparat kepolisian telah melanggar ketentuan Pasal 9 Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
  • Kemudian apabila Negara membiarkan aksi-aksi razia dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ormas-ormas Islam maka Negara telah melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Karena ketentuan pasal 5 ayat (1) itu tidak membenarkan adanya penafsiran yang memberi hak kepada negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan yang diakui dalam kovenan itu.

Berdasarkan hal di atas, dengan ini kami menyampaikan:

Rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada semua keluarga korban pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan.

Kemudian kami mendesak:

  • Aparat penegak hukum untuk menangani kasus Ryan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia, dengan mengadili dan menghukum pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
  • Aparat kepolisian untuk menindak tegas pelaku razia dan penangkapan yang tidak sah secara hukum terhadap kelompok LGBTI, baik yang dilakukan oleh aparat kepolisian sendiri maupun yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu.
  • Para psikolog, kriminolog, tokoh agama, dan aparat pemerintahan untuk membuktikan semua pendapat miring mereka terhadap keberadaan kelompok LGBTI secara ilmiah. Apabila mereka belum mempunyai cukup bukti ilmiah, maka kami mendesak mereka dan juga elemen masyarakat lainnya untuk segera melakukan klarifikasi. Karena kalau hal itu dibiarkan, maka stigma terhadap kelompok LGBTI akan bertambah dan hal itu akan menghambat upaya-upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI sebagai warga Negara Indonesia yang sah.

Terakhir, kami juga mendesak Negara dan semua elemen masyarakat untuk segera menghentikan semua bentuk stigmatisasi terhadap kelompok LGBTI di Indonesia sekarang juga!!!.

Jakarta, 28 Juli 2008.
Masyarakat Sipil Peduli Penghapusan Stigmanisasi Kelompok Homoseksual dan Biseksual :
Arus Pelangi, Ardhanary Institute, Forum Komunikasi Waria, Institute Pelangi Perempuan, Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, Kapal Perempuan, Kartini Networking, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Our Voice, Srikandi Sejati, Violet Grey Banda Aceh, Komnas HAM, PBHI, KONTRAS, IKOHI.


sumber

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya siap2 masuk penjara klo gt

Posting Komentar