C'est La Vie: Malam yang tidak akan kulupakan

5 April 2010:

Malam sudah menunjukkan pukul 19.00, aku masih berada di ruangan kantor, tinggal kami bertiga: aku, Mas Erfan, dan Mas Bondan... Mereka sibuk dengan komputernya masing-masing.

Aku ?

Aku sedang berusaha menghubungi seseorang untuk aku undang tanda tangan perjanjian kontrak. Aku merasa aku harus bisa menyampaikan pesan ini kepadanya. Sejenak, aku membaca usianya 40 tahun! Aku langsung tutup telepon, karena maksimal usia untuk lulusan S1 adalah 35 tahun. Aku baca, didalam ada form pengajuan deviasi yang sudah ditandatangani kantor pusat..

"Ooohh... Okay, berarti Bapak ini sudah bisa ditelpon lagi"

Aku mulai memencet tuts-tuts telepon... Tetap saja tidak ada nada sambung... Aku baca lagi CVnya, aku menemukan nomer telepon rumahnya. Tidak pantang menyerah, aku tekan nomer telepon rumahnya ... Dan, akhirnya tersambung, terdengar suara perempuan disana:

"Halo.."
"Halo..., Saya Gita dari SDM Bank **** , Bisa bicara dengan Bapak **** ?"
"Bapak lagi kerja di Pandaan, saya sambungkan ke Ibu aja ya Mbak?"
"Ok..." (Aku berpikir, tidak masalah aku sampaikan ke istrinya, pasti ia akan menyampaikan)
"Ya Mbak, saya istrinya, ada apa ya?" (Sang Istri berbicara sambil menggendong anaknya yang balita, karena terdengar suara anaknya menangis, Ibunya berbicara denganku sambil menenangkan buah hatinya)

Saya memperkenalkan diri lagi dan saya menyampaikan kelengkapan dokumen yang harus dibawa Bapak. Ibu itu meminta tolong anaknya untuk mencatat semua. Sesekali, anaknya yang ia gendong, berbicara di telepon hanya untuk bicara, "Haloo..halo..Assalamualaikum.."

Lucu sekali suaranya, saya membalasnya dengan, "Ini sapa namanya?". Kemudian ibunya meminta maaf, sembari berkata, "Maaf ya mbak, anak saya yang paling kecil, selalu ingin tahu. Sudah ya Nak, ini telpon buat Bapak, sayang.."

Ibu itu sabar sekali..

Akhir kata, saya bilang : "Ibu, besok tolong Bapak datang ke Kantor *** , Jalan *** , Untuk menandatangani perjanjian kontrak, pukul 1 siang. Bapak diterima sebagai RO dan ditempatkan di Pandaan"

Sontak Ibu itu berkata dengan agak berteriak, "Ya Allah, alhamdullillahirobbilalamin... Ya Allah, makasih atas berita baik ini, Nak.. Bapak dapat kerjaan yang lebih bagus, Ya Allah Makasih Ya Allah... Mbak, makasih ya buat berita baik ini"

Mataku berkaca-kaca mendengar itu semua, tak terasa menetes sebutir-dua butir... Aku berkata, "Sama-sama ibu, saya ikut senang"

Kemudian Ibu itu becerita, "Mbak, anak kami itu 3, yang kasih makan cuma Bapaknya aja. Saya sendiri ada toko kecil-kecilan dirumah. Saya senang Bapak dpt kerjaan yang lebih baik, maaf ya Mbak curhat.. Makasih ya Mbak.."

Saya bilang, "Namanya juga rejeki, gak akan lari kemana, Ibu. Oke Ibu, tolong sampaikan ke Bapak ya, Besok datang untuk ttd kontrak, saya tunggu Ibu.. Selamat Malam.."

Samar-samar terdengar diujung telepon, Ibu itu masih berucap syukur pada DIA, dan ia menangis bahagia.. Begitu juga aku..

* * *

Telepon aku tutup dan aku menangis..

Aku membaca personal file Bapak itu: Beliau berumur 40 tahun, bekerja sebagai penagih di kota Pandaan dengan gaji 1 juta sebulan, anak pertamanya sudah kuliah D3 di PTN Malang, Anak keduanya duduk dibangku SMP, anak ketiga masih berusia 2 tahun. Istri dan kedua anaknya di Probolinggo..

Ini realita, ia mempunya tiga dapur yang harus ia nafkahi, dengan gaji 1 juta, ia bisa bertahan hidup, mempertahankan keluarganya. Ia sungguh seorang Bapak yang bertanggungjawab akan keluarganya..

(Teringat aku akan anak-anak muda, baru lulus kuliah, g ada pengalaman kerja, minta gaji 3juta! Tidak mau ada target, maunya cuma didalam ruangan, gak mau keliling2! Cuma bikin jembek, bete! Dimana-mana kerja itu ada target, kamu hidup aja punya target! Mucikari aja punya target dan strategi pemasaran. Seorang pekerja seks pun punya target, kamu lulusan S1 bahkan S2, kog gak punya target?!?!?! Fresh graduate aja milih-milih kerjaan, huh ! ) -Kejengkelanku akan fenomena ini-.

Aku salut dengannya, tak sabar aku bertemu dengannya besok...

Mas Erfan & Mas Bondan bingung, kenapa aku menangis, aku ceritakan semua dan mereka manggut-manggut.. Aku pulang dengan merinding dan mata masih berkaca-kaca...

06 April 2010:

Akhirnya aku bisa bertemu dengan beliau... Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya ia sempat berkata:

"Mbak kemarin telpon istri saya ya?"
"Iya Pak, soalnya nomer Bapak gak bs dihubungi.."
"Saya kemaren nagih debitur itu didaerah gunung mbak, g ada sinyal.. Ini mbak, kelengkapan dokumen yang kmrn istri saya siapin... Saya semalem dr Pandaan pulang ke Probolinggo, terus paginya balik lagi Pandaan, masuk kerja dl, trus ke Malang, ke anak saya, baru ke Surabaya, demi pekerjaan ini mbak..."
Saya tersenyum, "Harus semangat ya Pak, salam buat Istri ama si kecil ya Pak" :)

Ia tersenyum...

07 April 2010

Datanglah e-mail darinya mengirimkan Rekening payroll ! Aku bahagia, berarti ia memang semangat dan niat, dan ia layak mendapatkan ini semua...

Sukses ya Pak :D

Jangan resign loh, saya sudah menangis buat Bpk :)

Curahan hati Sang Ayah (Bagian Kedua)

Ia membuka cerita dengan menatap jalan raya yang ramai, Ya! Sekarang adalah malam minggu... Matanya menerawang jauh menembus langit berbintang... Saat itu kita duduk di pinggir jalan, disebuah warung kopi..

"Anakku sudah besar, mau masuk sekolah TK"

Aku menghela nafas.

"Adi namanya, dia persis aku banget, semua orang yang melihatnya, pasti mengatakan itu"

Adi bak pinang dibelah dua dengan ayahnya. Bibir, mata, alis, hidung, semua adalah replika ayahnya. Aku hanya melihat dari foto yang ia tunjukkan. Foto itu mengatakan bahwa sang ayah kangen teramat sangat dengannya, difoto itu Adi sedang meniup lilin kue ulang tahunnya. Sang ayah tidak pernah diperbolehkan melihat, memegang, ataupun bercakap-cakap.

Ia menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Adi manggil aku itu dengan sebutan Oom, Ghe..."

Deg! Aku semakin bingung dengan situasi ini. Dalam hati aku marah, bagaimana bisa? Dia itu ayah kandungnya, kenapa ia tidak boleh melihat darah dagingnya sendiri. Bahkan, ibunya mengajarkan untuk memanggil "Oom!" Oooohh, Adi betapa malang nya kau 'Nak..
Mainan yang tiap minggu ibu beri itu adalah pemberian ayahmu yang memendam rindu untuk bertemumu.. Ibumu menuntut ayahmu memberikan uang bulanan yang katanya untuk biaya hidupmu, Ayahmu kabulkan 'Nak demi kamu..

"Bahkan sampai sekarang, aku tidak diperbolehkan melihatnya"


Aku sempat menawarkan opsi, bagaimana kalau kalian bertiga tes DNA, untuk membuktikan ini anak sapa? Kemudian setelah itu, hitam diatas putih dengan saksi, dan memakai pengacara buat surat keterangan dan surat pernyataan, yang isinya kalau memang kamu ayah biologisnya, si ibu harus memberikan ruang dan privacy antara kamu dan Adi, itu yang pertama. Yang kedua, sudah kewajibanmu memberi uang bulanan untuk Adi yang itu ada pertanggungjawaban dari ibunya tentang pengeluaran uang itu, apakah benar digunakan semestinya. Dan seandainya, kamu bukan ayah biologis, ibunya harus mengembalikan sejumlah uang yang sudah kamu beri. Aku berkata begitu... Ia menarik nafas panjang dan berkata,

"Aku sudah memikirkan itu semua, Ghe, aku masih belum bisa, karena ibuku sakit. Untuk saat ini, aq jalani semampu aku, selama aku masih mampu, Ghe..."